AGRESI

Terdapat tiga perbedaan penting dalam pengertian agresi. Pertama, definisi agresi sebagai perilaku melukai atau mempertimbangkan apakah orang tersebut bermaksud melukai. Definisi yang paling sederhana yang menggunakan pendekatan belajar atau pendekatan perilaku (behaviouristik) adalah bahwa agresi merupakan perilaku melukai orang lain. Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu sendiri menentukan apakah suatu tindakan agresif atau tidak. Kelemahan definisi ini adalah mengabaikan maksud orang yang melakukan tindakan tersebut atau mengabaikan tujuannya. Pengabaian maksud ini menimbulkan kesalahan bahwa jika is tidak melakukan tindakan yang berbahaya maka seharusnya dia tidak dikatakan agresif, meskipun kelihatan marah atau ingin melukai.


Kedua, biasanya kita mengasosiasikan agresi sebagai sesuatu yang buruk, padahal perlu dibedakan antara agresi antisosial dengan agresi prososial. Memang, agresi yang melukai itu buruk tetapi dalam contoh kasus seorang polisi yang menembak mati penjahat kelas kakap yang telah melakukan banyak kejahatan, maka agresi yang dilakukan polisi tersebut bisa menimbulkan ketentraman dan keamanan bagi masyarakat. Oleh karena itu, yang perlu dilihat dalam tindakan agresi adalah apakah tindakan agresif yang dilakukan melanggar atau mendukung norma sosial yang telah disepakati. Beberapa tindakan agresif berada diantara agresi prososial dan agresi antisocial, yang disebut dengan agresi yang disetujui (sanctioned agression). Ini meliputi tindakan agresif yang tidak bisa diterima oleh norma sosial tetapi masih berada dalam batas yang wajar atau tidak melanggar standar moral yang telah diterima. Misalnya pemberian kartu merah pada pemain sepakbola, wanita yang melawan pelaku kejahatan, dan sebagainya. Tindakan tersebut tidak dikehendaki tetapi masih berada dalam batas yang dapat diterima oleh norma sosial.
Ketiga, adalah perbedaan antara perilaku agresif dengan perasaan agresif misalnya rasa marah. Perilaku kita yang tampak tidak selalu mencerminkan perasaan internal. Mungkin saja seseorang sangat marah tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Dalam hal ini kita perlu mempertimbangkan faktor yang meningkatkan rasa marah maupun kendala yang mencegah agar perasaan itu tidak menjadi tindakan agresif.
Agresi dapat didefinisikan sebagai perilaku fissik atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Terdapat dua tipe agresi menurut Myers (2012:69) yaitu "hostile aggression" yaitu agresi yang didorong oleh kemarahan dan dilakukan dengan tujuan untuk melampiaskan kemarahan itu sendiri dan "instrumental aggression" yaitu agresi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain.
Sebuah definisi klasik tentang agresi disampaikan oleh Buss (dalam Krahe, 2005:15) yang mengkarakteristikkan agresi sebagai sebuah respons yang mengantarkan stimuli "beracun" kepada makhluk hidup lainnya. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi maka perilaku itu hams dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya dan sebaliknya menimbulkan harapan bahwa tindakan itu akan menghasilkan sesuatu. Spesifikasi ini mengesampingkan perilaku yang mengakibatkan sakit atau cedera yang terjadi di luar kehendak, misalnya yang terjadi secara kebetulan, akibat kecerobohan atau akibat ketidakcocokan. Sebaliknya spesifikasi ini memasukkan perilaku-perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain tetapi tidak menimbulkan akibat-akibat yang dikehendaki misalnya tembakan yang meleset dan targetnya dianggap mewakili sebuah tindakan agresif, bahkan meskipun tak sehelai rambutpun terlepas dan kepala si target. Dengan memfokuskan pada niat untuk menyakiti orang lain juga memungkinkan dimasukkannya tindakan non-aksi, seperti tidak bertindak untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan, sebagai sebuah tindakan yang agresif. Spesifikasi yang lebih lanjut mengacu pada keinginan di pihak target untuk menghindari perlakuan yang menyakitkan. Spesifikasi ini mengesampingkan kasus agresi yang diarahkan pada din sendiri dimana peran agresor maupun targetnya bersesuaian seperi bunuh din atau cedera yang dilakukan dalam konteks praktek perilaku sosial yang menyimpang (sadomachocism). Aspek-aspek tipologi perilaku agresif dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel Aspek-aspek Tipologi Perilaku Agresif
1.
Modalitas repons
Verbal vs Fisik
2.
Kualitas respons
Bertindak vs Kegagalan untuk bertindak
3.
Kesegaran
Langsung vs Tidak langsung
4.
Visibilitas
Tampak vs Tidak tampak
5.
Hasutan
Tidak Diprovokasi vs Tindakan Balasan
6.
Arah sasaran
Permusuhan vs Instrumental
7.
Tipe kerusakan
Fisik vs Psikologis
8.
Durasi akibat
Sementara vs Jangka Panjang
9.
Unit-unit social yang terlibat
Individu vs Kelompok
 (Sumber: Krahe, 2005:16)

Sebuah definisi lengkap yang mempertimbangkan semua aspek diatas ditawarkan oleh Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005:16) yang mendeskripsikan agresi sebagai "segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu". Motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah kenginan menyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, seperti agresi permusuhan atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan-tindakan agresif, seperti dalam agresi instrumental.
Beberapa aspek yang hams dipertimbangkan dalam mendefinisikan agresi mengacu pada penilaian normatif mengenai perilaku yang dipersoalkan. Ada beberapa kontroversi seperti apakah aspek "pelanggaran norma" hams dimasukkan diantara fitur-fitur penentu agresi lainnya. Tindakan disipliner yang digunakan oleh para guru atau tindakan mempertahankan din secara fisik adalah contoh-contoh perilaku yang memenuhi 'criteria niat, harapan dan keinginan target untuk menghindarinya, sehingga hams digolongkan sebagai perilaku avesif. Tetapi norma sosial menganggap tindakan semacam ini sebagai perilaku sosial yang dapat diterima. Oleh karenanya selama ini telah diperdebatkan apakah perilaku hanya boleh dianggap agresif bila melibatkan pelanggaran terhadap norma sosial.
Tetapi sebagaimana dinyatakan Berkowitz (1993, dalam Krahe, 2005:18) mendefinisikan agresi dalam hubungannya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial berarti mengabaikan masalah bahwa evaluasi normatif mengenai perilaku seringkali berbeda, tergantung perspektif pihak-pihak yang terlibat. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap hukuman badan adalah cara pengasuhan anak yang efektif dan diterima, sementara yang lainnya menganggap sebagai bentuk agresi yang tidak dapat diterima.
Hal lain yang berkaitan dengan pemilahan yang perlu diberi penjelasan adalah perbedaan "agresi yang dibenarkan atau sah (legitimate)" dan "agresi yang tidak dibenarkan atau tidak sah (illegitimate)". Hukuman negara, misalnya, memenuhi semua elemen definisi agresi sebagaimana disebutkan oleh Baron dan Richardson, yaitu tindakan yang dilakukan dengan niat dan harapan untuk menyakiti terhukum yang terdorong untuk menghindarinya. Tetapi, tindakan ini dibenarkan berdasarkan hukum di banyak negara. Oleh karena itu, apakah tepat bila menganggapnya sebagai agresi, bila prosedur hukumnya sudah dilaksanakan dengan benar? Meskipun banyak orang yang menolak ide ini, sebagian lainnya mungkin memiliki pandangan lain. Bila peraturan hukum yang eksplisit untuk itu tidak ada, pertanyaan mengenai legitimasi itu bahkan menjadi lebih sulit lagi untuk dijawab. Apakah kejahatan yang dilakukan oleh gerakan separatis atau minoritas tenr.arjinalisasi merupakan bentuk agresi yang dibenarkan atau tidak dibenarkan? Jelas bahwa jawaban bagi pertanyaan ini sangat akan dipengaruhi oleh posisi yang diambil orang dalam kontroversi itu. Jadi, meskipun isu-isu mengenai pelanggaran norma dan legitimasi sangat relevan, misalnya ketika sampai pada analisis mengenai dinamika hubungan antar kelompok atau justifikasi untuk perilaku agresif, mereka sulit diakomodasi sebagai fitur-fitur dalam definisi agresi.
Sebelum beralih dan definisi ke pengukuran perilaku agresif, kita perlu melihat secara singkat makna dua istilah yang saling berhubungan yaitu koersi atau paksaan (coersion) dan kekerasan (violence). Koersif (coersive) didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan niat membuat orang lain menderita atau memaksa orang lain patuh (Tedeschi dan Felson, 1994 dalam Krahe, 2005:19). Tindakan koersif dapat berbentuk ancaman, hukuman atau paksaan badaniah. Menurut pendapat kedua tokoh tersebut terdapat beberapa keuntungan jika mengganti istilah agresi dengan koersi yaitu:
a. Koersi memasukkan penggunaan ancaman berkontingensi untuk mendapatkan kepatuhan orang lain, yang tidak dapat direkonsiliasikan dengan mudah dengan definisi minimal agresi.
b. Tindakan koersif diinterpretasikan sebagai bentuk pengaruh sosial, yang menggarisbawahi sifat sosial tipe perilaku ini dan secara konseptual mendekatkan pada proses-proses komunikasi dan interaksi yang sebelumnya tidak ditelaah dalam konteks agresi.
c. Koersi direkomendasikan karena tidak hams menghindari isu legitimasi.
Menurut Tedeschi dan Felson" interaksi dan motif-motif orang tua yang menggunakan tindakan koersif untuk mengontrol dan mengubah perilaku anak-anaknya pada dasarnya tidak berbeda dengan tindakan perampok yang memaksa korbannnya untuk patuh dan tunduk".

Berlawanan dengan koersi, yang lebih luas dibandingkan agresi, istiiah kekerasan merupakan salah satu sub-tipe agresiyang menunjuk pada bentuk-bentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai (dalam Krahe, 2005:20):
1. Pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum atau mengkontrol (Geen,1995).
2. Serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial (Archer dan Brown, 1989).
Definisi-definisi diatas meliputi contoh-contoh kekerasan personal yang dilakukan oleh pelaku individual atau sekelompok individu yang dapat diidentifikasi. Sebuah tipologi kekerasan fungsional dikemukakan oleh Mattaini, Twyman, Chin dan Lee (1996, dalam Krahe, 2005:20) mengidentifikasi 6 (enam) fungsi potensial tindak kekerasan yaitu:
1. Mengubah atau menghindari situasi situasi aversif.
2. Penguatan (reinforcement) positif, misalnya pencapaian tujuan ter-tentu.
3. Pelepasan dorongan afektif negatif.
4. Resolusi konflik.
5. Mendapatkan penghormatan. 6. Melakukan serangan terhadap, yang didefinisikan secara kultural sebagai "musuh", misalnya anggota kelompok luar yang dipandang rendah.

Salah satu bentuk khusus kekerasan yang disebut sebagai kekerasan struktural adalah kondisi masyarakat yang mewariskan akibat merugikan bagi kelompok sosial tertentu. Kekerasan struktural dianggap sebagai fitur laten dalam sistem sosial yang menimbullkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan secara sosial, misalnya melalui pelembagaan hirarkhi kelcuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan perempuan kebanyakan tidak terlindungi dan koersi seksual laki-laki. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengondisian Operan - Pendekatan Behaviorisme

BIAS-BIAS DALAM PERSEPSI SOSIAL

Aspek-Aspek Identitas Sosial : Self